Setampah Sejarah Pak Camin
Setampah Sejarah Pak Camin
foto oleh penulis
Dibawah pohon rindang ia duduk tepat
di belakang tungku api, sesekali ia meniup kearah pembakaran untuk memastikan
apinya tetap menyala. Aroma yang menggugah selera keluar dari penggorengan di hadapannya.
Garis wajahnya sudah terlihat jelas, menandakan lebih dari setengah abad sudah
ia lalui.
Udara dipagi hari memberikan
semangat menyambut setiap orang yang sudah hilir mudik beraktivitas. Begitu
pula bagi Camin yang sudah berangkat sehabis shubuh dari rumahnya di desa Mampir,
Cileungsi menuju perempatan jalan Perumahan Permata Cibubur. Diusianya yang sudah
delapan puluh tahun pada 2017, beliau masih sehat bugar memanggul 8kg toge setiap
hari.
Beliau adalah penjual toge goreng. Mungkin
dizaman yang sudah serba canggih, makanan ini nyaris tidak diketahui
keberadaannya. Apalagi oleh para remaja yang kini lebih sering mampir ke cafe,
mungkin mereka akan mengerutkan dahi saat mendengar kata ‘toge goreng’. Lain
halnya bagi Camin. Toge goreng adalah sebuah sejarah baginya, sejarah hidupnya
yang tidak mungkin bisa ia tinggalkan begitu saja.
Terlahir dari keluarga penjual toge
goreng, membuat beliau sudah tidak asing dengan makanan yang banyak khasiatnya
ini. Sepeninggal sang ayah, pada tahun 1940-an beliau harus meneruskan usaha
keluarganya sebagai penjual toge goreng.
Berpuluh-puluh tahun sudah ia lalui
bersentuhan langsung dengan para pembeli. Ia sadar bahwa makanan tradisional
ini tidak memiliki peminat lebih banyak dari makanan siap saji dan modern. Namun tujuannya berjualan bukan
hanya sekadar mencari uang untuk hidupnya sehari-hari, melainkan melanjutkan
sejarah keluarganya.
Untuk menjaga agar cita rasa toge
goreng khas keluarganya, beliau menggunakan daun pisang kering sebagai pembungkus
toge gorengnya. Tidak hanya itu, dalam proses masaknya beliau memilih
menggunakan tungku api. “Bapak masaknya pakai kayu bakar, sebab kalau pakai
nasi aja bisa jadi pulen. Kalau pakai kompor biasa nanti suka bau minyak
tanah,” jelasnya.
Tubuhnya yang rentan melayani
pembeli dengan semangat, tak lupa ia memberikan senyuman yang akan memperjelas
garis wajahnya. Beliau sangat ramah. Tidak perduli dia adalah pembeli baru atau
langganannya, beliau selalu menyapa dengan hangat. Saat berbincang dengannya,
tak akan seorangpun memikirkan masalah apa yang menimpanya, atau bahagiakah ia
sekarang. Sebab selera humornya yang tinggi akan menghanyutkan siapun di
hadapannya.
Beliau tinggal bersama seorang istri
yang usianya tidak terpaut jauh dengannya. Memiliki delapan orang anak dan
empat belas orang cucu. Penghasilan yang beliau dapatkan dari berjualan tidak
lupa ia bagi kepada cucu-cucunya. Mungkin tidak seberapa jumlahnya, “Cuma buat
sekadar jajan siomay,” ujar beliau
sambil tertawa.
Tidak perduli rambutnya yang sudah
seluruhnya memutih, beliau selalu bekerja dengan semangat. Tidak perduli
seberapa uang yang didapatkan, beliau selalu bersyukur. Beliau menatap hidup
bukan tentang materi namun bahagia yang ia dapatkan, kepuasan saat pembeli
menyukai makanannya. Tak terlihat sedikitpun rasa lelah yang ia lukiskan.
Saat hujan datang beliau harus
memindahkan alat masaknya dan sebakul besar toge mentah. Petugas toko-toko di
sekitar tempat ia berjualan, memperbolehkannya untuk berteduh di depan toko
yang tidak terisi. Kala tak ada pembeli, beliau memisahkan toge dengan kulit
kacang hijau menggunakan tampah.
Dari penghasilannya beliau juga
berhasil menyekolahkan kedelapan anaknya sampai lulus sekolah menengah atas.
“Semua lulus, yang paling tua kerja diperusahaan mobil. Tapi bapak mah buta huruf sebab tadinya ngangon kerbau, ditambah lagi dulu enggak ada guru,” ungkap beliau bersama tawa
khasnya.
Namun rasa sedih tidak dapat beliau
sembunyikan kala mengingat sampai usinya yang melebihi setengah abad, belum ada
satu orangpun anaknya yang bersedia meneruskan usahanya. “Anak jaman sekarang kan gengsian, jadi kalau diterusin ya
syukur, enggak juga gapapa,” katanya pasrah.
Diusia tuanya beliau lebih memilih
untuk bekerja daripada tinggal di rumah. Kebahagiaan ia dapatkan dengan
berjualan, dan melupakan semua masalah hidupnya. “Kalau lagi sehat lebih seneng
jualan daripada dirumah. Kalau di sini kan bisa ketawa-tawa, fikiran juga jadi
lega,” begitulah beliau yang selalu santai memandang masalah.
Kegigihan beliau sangatlah luar
biasa, mungkin di luar sana masih banyak mereka yang masih muda dan memiliki
fisik yang sempurna namun malah bermalasan. Pak Camin adalah sosok pekerja
keras yang selalu bersemangat. Beliau tak mengharapkan materi berlebih, cukup
dengan bisa membahagiakan keluarganya dan menjalani hidup dengan penuh
senyuman.
Komentar
Posting Komentar