Cerita Pendek




Tanpa Pamit

Ditulis oleh Siti Anisa


            Namaku Ridho Ali Langitan, atau biasa dipanggil Ridho. Usiaku 14 tahun. Seharusnya anak seusiaku sedang sibuk sekolah atau membicarakan game online bersama teman sebayanya. Tapi inilah kehidupanku. Aku terpaksa meninggalkan seragam putih biru demi menghibur anak-anak kecil. Berdiri dan melambai-lambaikan tangan, menyapa setiap kendaraan yang sedang berhenti diperempatan lampu merah.
            Setiap pagi aku dan Ryan adikku yang berusia empat tahun lebih muda dariku, pergi ke perempatan lampu merah kota yang berjarak sekitar 5 kilo meter dari rumah kami.
            Sudah setahun lamanya semejak ayah kami mengalami kecelakaan hingga terpaksa kehilangan penglihatannya dan sakit-sakitan. Kini beliau hanya dapat terbaring lemah, sehingga aku dan Ryan harus mencari uang. Pada awalnya ayah melarang kami bekerja dan pernah memaksakan dirinya untuk mencari pekerjaan kesana-kemari. Namun itu hanya memperparah kondisi kesehatannya.
            Akupun sempat bekerja disebuah rumah makan yang tidak terlalu besar, membantu membersihkan meja pelanggan jika sudah selesai makan. Walaupun dibayar kecil, hal itu tak membuatku malu atau mengeluh kelelahan. Tapi semua tak berjalan lama. Sampai akhirnya aku dipaksa keluar karena difitnah mengambil uang yang tak pernah kutau berapa nilainya, bahkan bentuknya seperti apa aku tak pernah lihat.
            Maka inilah aku yang sekarang…
            Seorang anak dibalik kostum badut mickey mouse.

***

            Matahari sedang memperhatikanku dari langit, ia memamerkan kemampuannya yang membuat aku sangat kegerahan. Ditambah lagi aku harus bertahan di balik kostum berbahan busa. Keringatku meluncur bebas.
            “Bunda aku mau salaman sama badut itu,” ujar seorang anak perempuan membuka kaca jendela mobilnya. Ia mengulurkan tangannya seraya menyapaku. Lantas kubalas dengan senang hati.
            Sudah hampir dua jam aku beridri di atas trotoar pembatas jalan. Di sebrang jalan, adikku sedang duduk bersandar pada tiang reklame yang memasang foto besar seseorang disertai dengan kalimat bualan ampuhnya. Orang menyebut mereka “calon pemimpin daerah”.
            Saat langit berubah menjadi jingga, Aku dan Ryan bersiap untuk pulang. Kami tinggal disebuah perkampungan pinggir kota. Untuk sampai ke rumah, kami melewati jalan diantara rumah-rumah warga yang mungkin hanya dapat dilalui dua motor berdampingan.
            “Kak malam ini aku mau makan telur dadar,” seru Ryan padaku.
            “Baiklah, nanti kita mampir ke warung nasi Bu Ami,” jawabku.
            Rumah kami sangat jauh dari kata mewah. Berukuran 3x5 meter. Dengan dinding lembaran kayu triplek yang ada lubang kecil pada beberapa bagian. Di dalamnya hanya ada sebuah ruangan yang kami anggap sebagai kamar sekaligus ruang makan serta ruang tamu. Tak ada barang berharga atau pernak-pernik terpajang di rumah kami. Hanya sebuah TV lama berukuran 14inc dengan layar kuning, sehingga kami tak pernah tahu warna baju yang dikenakan Bapak Jokowi Widodo ketika berpidato di depan para petinggi negara, membicarakan gedung-gedung tinggi di Ibu Kota.
            Sesampainya di rumah, aku, Ryan dan ayah makan malam bersama. Seperti biasa diperjalanan pulang aku menyempatkan membeli makanan. Penjualnya, Ibu Ami selalu memberi kami tambahan sedikit sayur secara gratis.
            Adikku makan dengan lahap, sedangkan aku harus menyuapi ayah terlebih dulu.
            “Makan dulu yah,” kataku sambil mengarahkan sendok berisi nasi ke mulut ayah.
            “Hmmm…,” sahut ayah sambil membuka mulutnya.
            Setelah membereskan semua peralatan makan tadi aku bersiap untuk tidur. Di malam hari udara dingin menerobos masuk melalui celah atap rumah. Kuambilkan sarung bermotif kotak-kotak berwarna biru yang warnanya sudah memudar, untuk menyelimuti tubuh ayah agar tetap hangat.
            “Tak perlu, ayah tidak kedinginan. Gunakan itu untuk adikmu saja,” kata Ayah.
            “Tapi ayah lebih membutuhkan ini,”
            Akhirnya ayahpun tak mengelak lagi.
            Tiba-tiba ayah meraih tanganku, kemudian memberikan sebuah jam tangan miliknya. Jam tangan itu terlihat antik dan bernilai cukup tinggi, terbuat dari loham berwarna silver.
            “Ini jam tangan milik ayah dulu, hadiah dari kakekmu. Ayah fikir jika jam ini dijual uangnya bisa dijadikan modal untuk jualan es dan makanan. Uang hasil penjualannya bisa kamu gunakan untuk biaya sehari-hari dan ongkos sekolah,” jelas ayah.
            Aku terdiam…
            “Maaf jika ayah tak dapat berbuat apa-apa untuk kalian. Tapi ayah sangat ingin melihatmu kembali bersekolah,” tambahnya.
***
           
            Seperti permintaan ayah, sore ini sebelum kami pulang ke rumah. Aku dan Ryan pergi ke toko jam untuk menjual jam milik ayah. Dalam hati aku merasa tidak enak karena ini adalah benda satu-satunya yang dapat menjadi kenangan ayah besama kakek. Akan tetapi, aku harus bersyukur karena memilki harapan lagi untuk kembali bersekolah.
            Ketika keluar dari toko tersebut ternyata langit sudah gelap, perlahan rintik hujan mulai turun.
            “Kita harus segera pulang sebelum hujan menjadi deras,” ujarku pada Ryan.
            Aku menggandeng tangan adikku untuk berlari pulang, tangan lainku memeluk kepala mickey mouse.     
            Kami sampai dirumah dengan baju yang sudah basah kuyup akibat hujan. Aku masuk dan melihat ayah sedang tertidur, segeralah aku mengganti baju dan menyiapkan makan malam. Sementara adikku membangunkan Ayah untuk segera makan.
            Ryan menepuk pundaknya perlahan agar ayah tidak kaget.
            “Ayah, bangun yah!”
            Kudengar Ryan menaikkan suaranya. Tapi ayah bergeming. Adikku kembali menggoyangkan tubuh ayah, namun ia tetap diam. Akupun membantu membangunkan ayah. Tapi tubuhnya tak merespon. Bibirnya putih pucat. Saat itu aku dan adikku diam tak mampu bicara.
            “Kakak… Kenapa ayah tak menjawab?” Ryan mendekat padaku, tangannya memeluk erat tubuhku. Mukanya sangat takut dan tak mengerti apa yang terjadi. Jantungku berdetak sangat kencang. Kakiku melemah seakan tak bertulang, tak tahu harus berbuat apa.

TAMAT

Komentar

  1. Kenapa Ayahnya meninggal.. dibikin series kayanya bagus.

    BalasHapus
  2. Ceritanya membuat terharu..
    Ditunggu cerita lainnya :D

    BalasHapus
  3. Aduh terharu. Ditunggu cerpen selanjutnya ya!

    BalasHapus
  4. Balasan
    1. Sebelum terima kasih mila sudah mampir dan baca. Sarannya akan dipertimbangkan, semoga part 2 nya akan menyusul...

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer